Sisi Lain Dunia Wartawan

Diculik Gegara "Tes Kegadisan" Siswi SPG

foto

Istimewa

Ilustrasi

DI bawah ini Cang Anwar, wartawan senior asal Garut. Ia akan mengupas pengalaman masa lalunya ketika ia jadi wartawan HU Mandala. Mari kita simak.

Catatan CANG ANWAR

JADI wartawan itu kadang suka kadang duka, kadang manis kadang pahit. Duka dan pahit itu banyak kualami di saat bekerja mencari berita yang eksklusif dan menarik. Di antara pengalaman masa lalu itu, ada hal yang hingga kini masih teringat yakni di saat aku berhadapan dengan orang yang menculik diriku gara-gara berita.

Sebagai seorang wartawan, aku berusaha untuk tidak mencari masalah dengan pekerjaanku. Terutama ketika membuat berita kasus, aku berupaya seimbang dan faktual, sebab jika tak seimbang maka akibatnya bakal berhadapan dengan hukum, dan jika apes ada yang main hakim sendiri.

Oleh karena itu setiap menulis berita, aku berusaha menulis seapik mungkin agar bila terjadi sesuatu yang berakhir pahit di antaranya diseret ke pengadilan, atau kepolisian.

Tapi begitulah perjalanan hidup. Seperti pepatah mengatakan, sepandai- pandainya tupai melompat, akan jatuh juga. Begitu pula dengan diriku.

Waktu itu ditahun 1980-an, tanggal dan bulannya lupa lagi. Di Garut saat itu tengah ramai dengan isu katanya ada pemeriksaan kegadisan untuk kalangan siswi di tingkat Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

Orang tua yang punya anak gadis di SPG jadi resah, karena putrinya takut kalau diperiksa itu malah jadi tidak gadis lagi. Itulah yg ada di pikiran mereka.

Dan ternyata isu itu bukan hanya dari mulut ke mulut, tapi muncul dan dimuat oleh salah satu media terbitan Bandung. Tentu saja berita "tes kegadisan" itu jadi heboh.

Singkat cerita, konon ada yang terkena imbas oleh berita tersebut, mungkin sumber berita yang tidak terima ditulis namanya. Atau ada dampak lain, akupun tidak tahu persis karena bukan aku yang bikin beritanya.

Hari itu masih pagi, para wartawan dari berbagai media di Garut, seperti biasa sebelum kemana- mana mencari berita selalu kumpul di Sekertariat PWI. Begitu pula dengan diriku.

Hanya pagi itu kebetulan di Sekretariat PWI itu belum ada siapa siapa, hanya aku seorang diri. Untuk membunuh waktu, aku baca dulu koran-koran yang ada di situ.

Di saat asyik membaca, tiba-tiba muncul tamu seorang pria berusia sekira 40 tahunan. Kelihatannya ramah dan sopan, ia bertanya, "Apakah Bapak wartawan?" Aku menganggukan kepala. Dengan penuh hormat ia mengatakan kebetulan, karena saat itu butuh pertolongan wartawan. Dia memintaku untuk mengikutinya.

Tanpa curiga apa-apa, aku setuju dan bersedia ikut diajak ke rumahnya yang katanya masih berada di wilayah pusatbkota Garut. Aku pergi bersama tamu yang mengaku katanya pernah jadi aparat. Saat itu kami berangkat naik mobilnya.

Ternyata bukannya dibawa ke rumahnya yang ia ceritakan di dalam kota,  tapi mobil itu malah melaju ke luar kota. Aku kaget, apalagi cara mengendarai mobilnya seperti seorang pembalap, ngebut dan zig zag. Aku belum sadar, ada apa dengan orang tersebut. Kalapun hendak berniat tidak baik aku nekad akan kuhadapi.

Tepat di perbatasan kota, mobil yang kami tumpangi itu berhenti lalu diparkir di pinggir jalan. "Pak apa sebenarnya yang terjadi kok Bapak seperti meneror saya dengan cara mengendarai mobil seperti itu," aku bertanya.

Ternyata ia malah marah, katanya tidak terima dengan berita di koran. Gara-gara berita "tes kegadisan" nama pribadinya terkena imbas. Ia terus nyeroscos mulutnya menuding dan memarahiku.

Aku sendiri tidak mengerti, apa imbasnya, apa yang membuat dirinya marah sehingga dia berusaha mencari wartawannya untuk bikin perhitungan.

Setelah tahu duduk persoalannya, aku jelaskan bahwa dia salah alamat. Aku bukan wartawan pembuat beritanya. Jikapun berniat mencari wartawannya yang menulis, kataku, harus melalui jalur hukum agar jelas dan tidak salah.

Dia akhirnya sadar lalu meminta maaf atas kejadian ini dan langsung pulang lagi ke sekertariat PWI. Tapi rasa kesal atas perbuatan tamu tersebut, aku pun curhat dengan salah satu pejabat yg kebetulan aparat keamanan.

Selanjutnya orang yang menculikku itu dipanggil dan diperingatkan untuk tidak main hakim sendiri, sebab risiko hukumnya ada, selain menculik wartawan juga meneror.

Esok harinya ia datang menemuiku. Dengan memelas dia meminta jangan diteruskan ke jalur hukum. Masalah itu cukup sampai disitu saja. Aku pun memaafkan. Cuma hikmahnya, sang tamu tersebut akhirnya menjadi sahabat hingga akhir hayatnya.**

Bagikan melalui
Berita Lainnya