H.EDY DJUNAEDI

Cita-cita Ingin Jadi TNI malah "Terjebak" Jadi Wartawan

foto

Koleksi pribadi

Konferensi pers adalah salah satu kegiatan wartawan dalam mencari sumber berita. Pun saat mahasiswa ketika berlatih jadi "tentara" di bawah panji resimen mahasiswa adalah sesuatu yang indah untuk dikenang di saat usia senja ini.

SATU lagi wartawan senior H.Edy Djunaedi akan bercerita tentang "dunia wartawan". Mantan wartawan dengan jabatan terakhir Redaktur Harian Umum Bandung Pos ini termasuk "barang langka". Sebab di usia 80 tahun ini ia masih "jagjag" segar bugar padahal rekan-rekan seangkatannya telah banyak yang menghadap illahi. Bagaimana kisahnya? Yu kita simak.

***

Catatan H. EDDY DJUNAEDI

CITA-CITA ternyata beda dengan nasib. Ambisi ingin jadi anggota TNI, meneruskan jejak ayah yang TNI pejuang 45, namun arah nasib telah menentukan lain, justru masuk ke dunia wartawan.

Feed back pada masa masih jadi siswa, kenangan masih memancar dalam kehidupan di hari tua. (Kini 79 tahun 7 bulan). Ingat saat masuk sekolah rakyat (SR) - sekarang sekolah dasar (SD), di SR Negeri Cibangkong tahun 1950 hingga kelas III kemudian pindah ke SR Negeri Balonggede 3 hingga lulus SR 1956.

Sekolah berlanjut ke SMP BPI, lulus 1959 dan masuk ke SMA BPI lulus tahun 1962 dan akhirnya ke Fakultas Publisistik dengan status masih Yayasan Universitas Padjadjaran sekretariatat di Jl. Supratman hingga akhirnya jadi Fakultas Publisistik Unpad dan sekretariat di lingkungan Unpad Jl. Dipati Ukur.

Sejak masuk sekolah lanjutan, beberapa kali mengikuti lomba mengarang ceritera pendek atau puisi selalu menjadi pemenang, juara. Itulah mungkin yang menyebabkan jadi seorang wartawan. Sekali lagi, bukan cita-cita. Ketentuan Allah mutlak. Apalagi saat mengetahui dalam kuliah banyak ilmu yang menyangkut komunikasi seperti mata kuliah jurnalistik, ilmu komunikasi, ilmu penerangan sehingga jurusan pun ada jurusan Public Relations, Jurnalistik dan Penerangan.

Saya sendiri anehnya memilih jurusan Jurnalistik. Lebih terang lagi, juara mengarang ceritera pendek dan puisi di kala masih di SMP-SMA akhirnya menjadi modal dasar untuk jadi wartawan. Semua secara serius ditekuni. Apalagi saat masih di tingkat I semester 2, saya mendaftar ke surat kabar Soenda SIPATAHOENAN dan diterima.

Di koran (berbahasa) Soenda satu-satunya di dunia ini, saya dibimbing Redaktur H. Koerdi dan H.M. Kendana hingga lebih serius menekuni profesi wartawan ini.

***

MELALUI Sipatahoenan yang juga ternyata koran perjuangan, saya mendapat gemblengan luar biasa. Para pembimbing tersebut dengan bahasa yang lembut khas Sunda namun menancap dalam hingga dalam tempo 3 tahun telah faham peran jurnalistik dalam mencerdaskan bangsa.

Apalagi di Fakultas Publisistik mendapat tempaan mendalam dari segi penyampaian informasi sesuai ilmunya. Terbayang, dosen yang menurunkan ilmunya demikian mantap memberi gambaran hebatnya media massa saat itu koran atau surat kabar sehingga panglima besar Perancis, Napoleon Bonaparte yang tegas lebih takut menghadapi 4 surat kabar ketimbang 4000 tentara. Itu pertanda hebatnya peran informasi dalam mempengaruhi otak manusia.

Melalui media informasi seperti surat kabar dan radio, banyak yang menelan info itu hingga mempengaruhi sikapnya. Perkembangan ilmu dan informasi demikian cepat hingga jika dulu basinya informasi, sehari, kemudian menjadi hitungan puluhan menit ketika muncul era pertelevisian.

Orang saling berburu informasi demikian cepatnya. Pengalaman itu telah membuat bertambahnya perbendaharaan ilmu. Karena kecepatan perkembangan teknklogi informasi telah menumbuhkan media online sehingga basinya suatu berita dalam hitungan detik.

Hebat. Bisa dihitung dan dinilai kecepatan perkembangan komunikasi itu. Dulu sehari dapat memperoleh infornasi dunia. Kemudian dalam hitungan belasan menit. Kini, dengan hitungan detik. Masya Allah. Subhanallah.

Ini artinya, dalam tempo beberapa detik orang sudah bisa menjelajah dunia. Informasi atau peristiwa apa pun yang terjadi di belahan mana pun bisa super cepat diketahui. Itulah kreasi pengguna otak yang mengolah sain menjadi sumber uang yang tidak putus-putus.

Lepas dari itu semua, ternyata bakat lebih dominan dan menentukan dibanding cita-cita dan keinginan. Saya bercita-cita menjadi tentara sejak memasuki SMA. Tapi tak pernah jadi kenyataan.

Ada pendaftaran ke Akademi Militer Nasional (AMN) coba daftar karena lulusan SMA bagian C pun bisa mengikutinya. Kedua kali daftar ke Sekolah Calon Perwira (Secapa AD). Juga tidak lulus dan ke tiga daftar ke Secapa AL di Malang dan bernasib sama. Tidak lulus.

Cita-cita tak terkabul dan ternyata bakat lebih dominan. Tanda-tandanya, sejak SR suka menulis puisi, di SMP bagian A (sastra) jadi juara menulis ceritera pendek dan waktu masuk SMA bagian C (sosial) juara mengarang cerpen dan puisi.

Itulah bakat dan lain dari cita-cita. Untungnya, saya tak pernah putus harapan. Mulai saat itu, menulis pun tetap mengalir. Terutama saat waktu senggang. Lebih yakin lagi setelah kuliah di Fakultas Publisistik Unpad terutama saat menerima pelajaran yang namanya ilmu komunikasi.

Diperdalam terus hingga menjadi wartawan yang pernah mengikuti pendidikan Karya Latihan Wartawan (KLW) angkatan III di Jakarta, Penataran Nasional Bidang Ekonomi di Ujungpandang dan Penataran Nasional Jurnalistik di Palembang. Akhirnya jadi kebanggaan hingga usia kini 6 bulan lagi 80 tahun. Alhamdulillah.

Bagikan melalui
Berita Lainnya