Sisi Lain Dunia Wartawan

Disekap di Markas Tentara Gara-Gara Berita

foto

istimewa

H.Dedi S.Asikin

Catatan H.DEDI S.ASIKIN

SATU lagi wartawan senior yang sudah malang melintang dalam dunia jurnalistik akan berbagi cerita. Haji Dedi S.Asikin, begitulah nama pria yang usianya sudah 81 tahun ini. Sejak kecil gemar menulis cerita, mengarang istilahnya. Dan sampai dewasa kecintaan pada wartawan begitu mendalam. Pernah bekerja sebagai pegawai negeri di Pos Telekomunikasi (Postel) kalau sekarang PT Telkom, dan ditempatkan di Kantor Sentral Giro di Bandung. Namun kecintaan terhadap dunia wartawan membuat ia melepaskan diri dari status pegawai negeri. Haji Dedi pernah bekerja di koran mahasiswa KAMI, dan akhirnya terdapar di HU Mandala Bandung. Banyak ceritanya, namun di antara sekian pengalamannya, kami cuplik bagian yang mungkin menarik untuk kita simak.

***

DI dunia wartawan dikenal dengan istilah KKW (Kekerasan Kepada Wartawan) bukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Tindak kekerasannya sama. Bedanya KDRT itu ada Undang Undangnya dan termasuk Undang Undang Khusus. hukumanya berat. Sedangkan KKW berlaku umum, pelakunya diancam dengan Undang-Undang Konvensional atau yang kita kenl Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lex’s specialis) anti Kekerasan Kepada Wartawan.

Sebagai seorang wartawan aku sungguh-sungguh menyadari adanya risiko yang harus dihadapi. Wartawan itu hidup di antara cinta dan benci. Berita-berita yang kurang mengenakan yang biasa disebut kasus biasanya menimbulkan kekecewaan, bahkan kemarahan seseorang. Siapa saja bisa tersinggung, pejabat atau pun pengusaha swasta. Tak sedikit KKW itu terjadi. Juga tidak sedikit wartawan yang dibunuh. Menurut catatan, sampai sekarang sudah ada 16 orang wartawan yang mati dibunuh, bukan terbunuh.

Sebagai wartawan aku juga pernah mengalami kekerasan itu. Pada suatu ketika tiba-tiba aku dijemput paksa oleh sepasukan tentara. Dengan mobil bak terbuka aku dipaksa ikut naik mobil itu dan dibawa ke markas Brigif 13 Galuh. Dulu markas itu berada di Jln.Gunung Sabeulah.
Sesampai di Kantor Brigif 13 Galuh, aku langsung disuruh masuk sebuah kamar. Belakangan aku tahu kamar itu adalah kamar kerja Kepala Staf Brigif Letkol Patikawa.
Begitu duduk di kursi, sang Letkol langsung melotot. Sepucuk pistol diletakan dengan kasar di atas meja kerjanya. Perwira menengah itu marah-marah tidak karuan dan mengancam.

Belakangan baru paham sebab musababnya, yaitu sebuah berita di Harian Mandala dua hari sebelumnya. Berita itu mengungkap kasus rentenir. Diketahui Brigif telah meminjamkan uang kesejahteraan anggota kepada sejumlah pedagang di kota itu. Pinjaman itu ditujukan untuk membantu permodalan mereka. Meskipun rentenya agak tinggi dibanding bunga bank, tapi dalam berita itu disebutkan ada nilai positifnya.

Yang jadi masalah terjadi kasus penahanan debitur karena lalai mengembalikan pinjamannya. Seorang pedagang dari Ciawi ditahan di kantor itu beberapa hari. Dia baru dikeluarkan setelah turun berita di harian Mandala.
Setelah “lelah” mengumbar kemarahan sang Letkol meninggalkan ruangan. Jujur saja aku merasa takut dan badanku gemetaran. Beberapa waktu kemudian masuk Mayor Sukardja Kepala Seksi I. Ia langsung meminta maaf atas kemarahan atasannya itu. Seraya mempersilakan aku pulang. Di luar markas sudah menunggu beberapa teman wartawan. Mereka ingin mengetahui kejadian itu. Sekaligus memberi dukungan kepadaku.

Kejadian lain yang menyangkut KKW aku alami. Aku diisukan anggota PKI. Padahal aku sungguh sungguh aktivis SSPTT yang tergabung dalam Kino Gakari Sekber Golkar.
Setelah clear masalah PKI, aku juga masih mendapat teror lain. Muspida Tasikmalaya mengirim Sekda dan Kasdim menemui Pemimpin Redaksi Mandala, dan meminta agar aku dipindah tugaskan dari Tasikmalaya. Tetapi Pak Krisna Harahap (Pemred Mandala) bergeming dan tetap memintaku bertugas di Tasikmalaya.

Hampir 20 tahun aku bekerja di Harian Mandala. Setelah sekitar 15 tahun menjadi pewarta lapangan sempat dipercaya menjadi salah seorang Redaktur di harian itu sampai akhirnya mengundurkan diri pada tahun 1997.


Lepas dari Harian Mandala, aku mencoba menerbitkan koran sendiri. Setelah reformasi ada kemudahan untuk mengajukan izin dan mendapatkan SIUPP. Waktu itu Presiden Habibie telah mengeluarkan kebijakan mengurus SIUPP mudah dan cepat. Memanfaatkan situasi itu, kami mengajukan permohonan SIUPP kepada Menteri Penerangan yang waktu itu dijabat Yunus Yosfiah.

Setelah keluar SIUPP yang diurus hanya dalam satu minggu, terbitlah mingguan DERAS. Aku menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi. Setelah terbit secara teratur selama 3 tahun, Deras gulung tikar. Untuk penerbitan koran itu aku merogoh kantong sendiri sebesar Rp200 juta. Dan uang itu amblas tak kembali ke pundi pundiku.

Setelah bebas secara struktural wartawan, terutama setelah Deras berhenti terbit, aku mengisi sisa hidup dengan menulis buku. Sampai sekarang sudah ada lima buku yang disusun dan diterbitkan. Di antaranya, buku tentang pondok pesantren yang diberi judul “No’ong Kobong”. Lalu “Jelajah Madrasah” sejarah dan eksistensi madrasah. Kemudian buku tentang haji dengan judul “Mabrur itu Surga” dan terakhir tentang PNS dengan judul “Bingkai Bingkai ASN”.

Sekarang aku sedang menyusun buku Sejarah dan Profil Wartawan. Buku ini berisi sejarah wartawan dan kewartawanan sejak jaman Raja Cayus Yulius Caesar di Romawi sekitar 100 tahun sebelum masehi. Kakek moyang wartawan itu ternyata para budak belian. OLeh majikannya mereka ditugasi mencari berita yang dipampang di papan pengumuman di depan Istana dan Kantor Senat. Jadi ada benang merah yang membentang panjang antara wartawan dan budak belian. Mudah-mudahan aku diberi umur dan kekuatan untuk menyelesaikan buku itu.

Selama menjadi wartawan aku aktif di dalam organisasi Pers. Aku pernah menjadi Ketua Korp Wartawan Daerah Kabupaten Tasikmalaya, Ketua PWI Kordinatorat Priangan, Wakil Ketua Yayasan Kesejahteraan Wartawan Jawa Barat, Sekretaris Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Jawa Barat.


Di luar itu aku juga terlibat dalam perjuangan pemekaran Kabupaten Tasik Selatan. Di situ menjabat Ketua Dewan Penasehat Presidium. Dalam usia yang memasuki 81 tahun aku masih berusaha terus aktif. Ada sebuah janji yang pernah kulontarkan di hadapan banyak teman-teman sesama wartawan bahwa aku akan terus menulis, kalau bisa sampai maut merenggut. Semoga Allah memberiku kekuatan dan kesehatan. Aamiin Yaa Robbal Aalamiin.- *

Bagikan melalui
Berita Lainnya