MK Putuskan Sistem Pemilu Tetap Terbuka, Satu Hakim 'Dissenting Opinion'

foto

Foto : Mahkamah Konstitusi

Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman setelah selesai membacakan putusan tentang Permohonan Sistem Pemilu.

JAKARTA, KejakimpolNews.com - Setelah ditunggui berbagai kalangan terutama oleh para politisi, akhirnya Mahkamah Konsitusi (MK) memutus perkara sistem pemilihan umum (Pemilu).

Salah satu putusan yang paling krusial yakni, Majelis Hakim MK menolak permohonan pengujian UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang sistem pemilu, yakni mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup, sebagaimana permohonan pemohon.

"Permohonan pemohon (untuk mengubah sistem Pemilu) tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam putusannya Kamis (15/6) yang juga disiarkan melalui sejumlah TV nasional.

"Mengadili, dalam pokok permohonan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," tambah Anwar Usman.

Permintaan agar Pemilu sistem dari terbuka menjadi tertutup diajukan pemohon maisng-masing Adapun permohonan dalam Sistem Pemilu dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 digugat ke MK oleh 6 orang karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Permohonan diajukan para pemohon terdiri dari Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi); Yuwono Pintadi; Fahrurrozi (Bacaleg 2024); Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan); Riyanto (warga Pekalongan); dan Nono Marijono (warga Depok). Mereka memilih pengacara dari kantor hukum Din Law Group sebagai kuasa.

Mereka mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 426 ayat (3) di UU Pemilu bertentangan dengan Konstitusi.

Para pemohon mendalilkan,sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik.

Dampaknya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik namun mewakili diri sendiri.

Pemohon pun mendalilkan kata 'terbuka' pada pasal 168 ayat (2) UU 7/2017. Hal ini katanya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,

Begitu juga kata 'proporsional' dalam pasal 168 ayat (2) bertentangan sepanjang tidak dimaknai 'sistem proporsional tertutup'. Ini adalah sebagian dalil dari total sembilan petitum yang dimohonkan para pemohon.

Namun majelis hakim hakim MK dalam pertimbangannya menolak permohonan tersebut. Menurut Majelis Hakim MK, norma pasal 168 ayat (2) UU Pemilu, yang dimohonkan para pemohon intinya menyatakan "Sistem pemilu dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar terbuka.

Dalam pertimbangannya MK mengemukakan terlebih dahulu baik buruknya sistem politik antara sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup

Kelebihan 'terbuka' kata MK, di antaranya mendorong persaingan yang sehat antara kandidat dan meningkatkan kualitas kampanye serta program kerja mereka.

Selanjutnya, memungkinkan pemilih menentukan calon secara langsung. Pemilih memiliki kebebasan memilih dari partai politik tertentu tanpa terikat nomor urut yang telah ditetapkan oleh partai tersebut.

Begitu juga bagi pemilih, mereka akan memiliki kesempatan untuk melibatkan diri dalam pengawasan terhadap tindakan dan keputusan yang diambil oleh wakil yang mereka pilih sehingga meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem politik termasuk meningkatkan partisipasi pemilih.

Majelis Hakim MK juga menilai, dengan sistem proporsional terbuka lebih demokratis karena dalam sistem ini representasi politik didasarkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai politik atau calon sehingga memberikan kesempatan yang lebih adil bagi partai atau calon yang mendapatkan dukungan publik yang signifikan.

Adapun kekurangan di antaranya, sistem (terbuka) ini memberikan peluang terjadinya politik uang. Keberadaan modal politik yang besar ini dapat menjadi hambatan bagi kandidat dari latar belakang ekonomi yang lebih rendah untuk berpartisipasi.

Sistem ini selain dapat mereduksi peran partai politik juga terbuka kemungkinan adanya jarak antara anggota calon legislatif dengan partai politik yang mengajukannya sebagai calon.

Sedangkan pada sistem proporasional tertutup kelebihannya di antaranya; Partai politik lebih mudah mengawasi anggotanya di lembaga perwakilan partai politik dapat dengan lebih mudah.

Setelah panjang lebar menguraian berbagai dalil pemohon, Majelis Hakim MK dalam pertimbangannya yakni menilai, permohonan pemohon tidak dapat diterima. Hal ini berarti Pemilu tetap dengan sistem terbuka seperti yang selama ini diberlakukan.

"Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka lebih dekat kepada sistem pemilihan umum yang diinginkan oleh UUD 1945, namun karena secara konseptual dan praktik, sistem pemilu apa pun yang dipilih pembentuk undang-undang baik sistem proporsional dengan daftar terbuka maupun dengan daftar tertutup bahkan sistem distrik sekalipun, tetap memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing," kata Saldi Isra anggota majelis hakim yang membecakan pertimbangannya.

Denganm demikian Majleis Hakim MK menolak permohonan uji materi pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka.

Putusan MK tertuang dalan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut, maka pemilu tetap memakai sistem proporsional terbuka.

Putusan Majelis Hakim MK ini sempat diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari satu hakim, yaitu hakim konstitusi Arief Hidayat.**

Editor : Maman Suparman

Bagikan melalui
Berita Lainnya
Duuhh... Seorang Pengusaha Menagih Haknya Malah Dipukuli Sahabat Sendiri
Berlagak Tidak Sopan Seorang Tahanan Tewas Dikeroyok 6 Tahanan Lainnya di Rutan Depok
Dendam, Oknum Satpam Tusuk Teman Hingga Tewas Saat Korban Berhenti di Lampu Merah
Gedung Sate Berlakukan Car Free Day Zero Emision Kamis-Jumat, Kecuali Kendaraan Listrik
Dinas Dukcapil Se-Jabar Tanda Tangani Komitmen Bersama Bangun Zona Integritas Menuju WBK dan WBBM Tahun 2025