Peran Serta Batalyon - I Korps Mahawarman - ITB Ikut Serta Menumpas G30S/PKI

  • Selasa, 3 Desember 2024 | 15:02 WIB
foto

Foto : Dokumen/Tjipto Sukardhono

Inilah personel Batalyon - I Korps Mahawarman - ITB

Oleh TJIPTO SUKARDHONO
(DanYon I-ITB 1966-1968, Mantan Ketua Dewan Harian Angkatan 45, Mantan Ketua IARMI)

SESUAI dengan instruksi Menteri PTIP No.1 Tahun 1962 tanggal 15 Januari 1962 tentang pembentukan Korps Sukarelawan pembebasan Irian Barat (papua Barat) di lingkungan perguruan tinggi, maka di ITB di bentuk Batalyon Inti Resimen Mahasiswa Serba Guna (Resimen Mahawarman belum dibentuk). Batalyon inti inilah kemudian menjadi embrio Batalyon I Resimen Mahawarman kemudian hari.

Setelah melalui saringan seleksi yang ketat, kekuatan rial Yon Inti ini praktis hanya satu kompi penuh, apalagi setelah melalui latihan cukup berat karena bagaimanapun Yon Inti ini harus benar-benar siap untuk di terjunkan di Irian Barat (Kini Papua Barat), bila memang diperlukan.

Batalyon Inti ini di resmikan pada tanggal 20 Maret 1964 oleh almarhum Prof. Sumantri Brojonegoro, yang mewakili Rektor ITB.

Penyematan cincin kehormatan “Peristiwa 19 Agustus 1966” pada tunggul Menwa Batalyon I/ITB oleh Pangdam VI/Siliwangi May. Jend. TNI HR. Darsono pada tahun 1966 kepada Komandan Menwa ITB ke 2, Tjipto Sukhardono.

Anggota Yon Inti ini sekarang yang dikenal masyarakat antara lain Harjanto Dhanutirto (mantan Menhub), Giri Suseno (mantan wakil Ketua BPIS) dan Slamet Susilo (mantan Dirjen POM).

Didemo CGMI

Suatu pristiwa penting sebagai prolog G-30-S/PKI adalah apa yang terjadi pada tanggal 17 Maret 1964 (tiga hari sebelum Yon Inti diresmikan), pada hari itu di ruang R-6 sedang di putar film perang berjudul "Sands of Iwojima", dengan bintang film Jhon Wayne. Pemutaran film ini di maksudkan sebagai intruksi latihan khusus bagi anggota Yon Inti (pada saat itu ada larangan untuk memutar fil-film Amerika).

Sedang nikmatnya nonton film, tiba-tiba pemutaran film dihentikan, lalu di ikuti intruksi agar seluruh kader Yon Inti segera keluar dari ruangan dan memformaskan diri dengan “stelling” di depan Aula Barat dan Perpustakaan (sekarang Aula Timur).

Ternyata di depan kampus sepanjang Jalan Ganesha sudah ada demonstran massa CGMI (ormas mahasiswa PKI) yang di perkuat pelajar-pelajar sekolah RRC, yang dipimpin oleh Vin dan AM, mahasiswa ITB.

Maksud mereka demonstrasi menuntut agar pemutaran film Amerika dihentikan dan Yon Inti tidak perlu dibentuk, sebab Irian Barat sedang dalam proses kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Karena massa demonstran terlihat membawa batu, maka para kader Yon Inti disibukkan mencari batu yang sulit di cari di dalam kampus.

Terjadi dialog antara pimpinan massa demonstran dan pimpinan Yon Inti, antara lain Piet Nainggolan dan Ojak Siahaan untuk mencegah terjadinya perkelahian massa.

Tidak tahu entah pembicaraan apa yang mereka lakukan, sebab saya sebagai Danyon bertugas menghadapi mereka di depan Aula Barat. Entah bagaimana proses pembicaraan, akhirnya mereka bubar dan pemutaran film dapat di lanjutkan.

Menghadapi intrik-intrik CGMI/PKI menjelang terjadinya G 30S/PKI di Kampus ITB, di antaranya peristiwa hilangnya bendera ITB yang di kibarkan di Bukit Ciparay sewaktu ada kerja bhakti Mapram (Masa Prabhakti Mahasiswa, sekarang OS), serta dua hari setelah Let Kol Ir. Kuntoaji dilantik menjadi Rektor ITB.

Ada lagi demonstran CGMI diperkuat pelajar-pelajar RRC, bermaksud membakar Kantor dan Perpustakaan “Kentucky Contract Team/KCT” yang berada di Kampus ITB. KCT di ITB dalam rangka kerjasama antara ITB dengan University of Kentucky dalam program pemberian bantuan dosen-dosen , buku-buku , serta peralatan-peralatan pendidikan.

Selain itu tuntutan mereka juga adalah menolak diangkatnya seorang warga TNI sebagai Rektor ITB serta menuntut pembubaran Menwa ITB. Setelah mendapat laporan adanya demonstran di depan kampus,

Rektor ITB Let Kol. Ir . Kuntoaji segera melakukan rapat kilat dengan pimpinan ITB lainnya di kantor ITB Jalan Tamansari. Saat berlangsungnya rapat itulah saya sebagai Wadanyon dipanggil Rektor ( Danyon Harjanto sedang berada di Dolatpur Bihbul).

Begitu saya menghadap Rektor, pertanyaan yang diajukan kepada saya adalah,
“Apakah pistolmu itu ada pelurunya?”
Saya jawab, “Ada Pak”
“Anak buahmu di kampus ada berapa?," tanya rektor lagi.
Kemudian saya jawab, “Tinggal sepuluh Pak. Sebab yang lainnya sedang berada di Bihbul melatih para kader Yon”.
Selanjutnya saya melaporkan bahwa Batalyon sedang bersenjata lengkap.

Kemudian Rektor memerintahkan kepada saya untuk mengawal ke kampus dan melihat sepuluh orang anggota Batalyon I sedang siaga bersenjata lengkap. Maka beliau memberi intruksi “Jangan menembak kalau tidak ada intruksi dari saya”.

Selanjutnya Rektor berbicara dengan para pimpinan demonstran dengan jawaban-jawaban yang keras dan tegas. Rektor yang berseragam TNI beserta sepuluh pengawalan anggota Batalyon I bersenjata lengkap membuat massa surut mundur teratur.

Sejak peristiwa itu, isu militerisme mulai merabak di kampus ITB, bahkan menurut radio Australia, DN Aidit sendiri menuntut kepada Presiden Soekarno, agar Resimen Mahasiswa seluruh Indonesia mulai 28 September 1965 dibubarkan saja, karena Aidit juga menganggap Resimen Mahasiswa Indonesia merupakan tentaranya Nasution.

September 1965 , di Kampus ITB sedang berlangsung Mapram. Saat itu terasa sekali suasana kampus yang “panas”, pasalnya terjadinya insiden-insiden dan bentrokan antara kelompok-kelompok mahasiswa.

Maka untuk menjaga ketertiban, Rektor ITB mengeluarkan instruksi kepada seluruh warga Civitas Academica ITB, bahwa bila mereka ingin keluar masuk kampus harus melalui pintu gerbang utama di Jalan Ganesha. Dan kepada Batalyon I di intruksikan untuk melakukan penjagaan dan pengamanan.

Ikut Tumpas G-30-S

Pada tanggal 30 September 1965, ada pengumuman tentang telah dibentuknya Dewan Revolusi untuk melindungi negara dan presiden dari “coup d’tat” Dewan Jenderal. Dewan Revolusi ini dipimpin oleh Let. Kol. Untung dari Resimen Cakrabirawa, di antaranya disebut bahwa pangkat tertinggi di lingkungan ABRI adalah Letnan Kolonel.

Terkait dengan Dewan Rovolusi ini, seorang anggota Batalyon I, bernama E, yang ibunya termasuk dalam daftar anggota Dewan Revolusi, mengajak Dan Yon I Harjanto dan saya sebagai Wadan Yon untuk berbicara enam mata.

Saat itu E meminta agar Batalyon I mendukung Dewan Revolusi, tetapi Dan Yon menolak ajakan itu, pasalnya situasi belum jelas, apalagi setelah melihat Pangdam Siliwangi, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie tiba-tiba datang ke Kampus ITB melihat situasi yang tetap menggunakan pangkat Mayor Jenderal. Setelah kunjungan Panglima, kemudian Batalyon I mendapat dropping senjata dari Kodam, dan E kemudian dipecat dari Batalyon I.

Insiden Mapram

Selama Masa Prabakti Mahasswa (Mapram) terjadi suatu insiden, dimana seorang anggota Mapram membawa satu rombongan calon Mahasiswa ITB masuk kampus melalui pintu belakang, padahal sudah ada larangan.

Komandan Batalyon I, Harjanto sempat marah dan menegur anggota Mapram yang bernama U. tetapi U tidak mau menerima teguran itu, malah balik memaki Dan Yon. Dan Yon merasa tersinggung dan marah. Akan tetapi karena pengertian salah seorang panitia Mapram, maka insiden itu dapat di selesakan.

Sejak terjadinya peristiwa G30S/PKI, praktis tidak ada kegiatan perkuliahan selama hampir dua tahun. Kegiatan sehari-hari di kampus hanya di penuhi dengan kegiatan demonstran. Batalyon I yang beranggotan 300 orang memberlakukan “siaga tingkat satu” (anggota tercatat 500 orang), di bagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok siang dan kelompok malam bergantian seminggu sekali.

Tugas utama Batalyon I adalah membela dan mempertahankan Kampus ITB dari serangan G-30-S /PKI dengan memperoleh dukungan logistik dari ibu-ibu dan istri dosen setiap hari. Satu Batalyon I di tugaskan ke dalam pasukan khusus Menwa Mahawarman di bawah komando Kodam, dan dipimpin oleh Letkol Lukman Madewa. Pasukan khusus ini langsung terlibat dalam operasi penumpasan G 30S/PKI di Bandung. Tiga orang anggota Batalyon I yang ditugaskan dalam pasukan khusus ini yang saya ingat Abdul Hafid, Suntana serta Ayib.

Dalam situasi yang genting ini dilakukan pergantian Dan Yon dari Haryanto kepada saya dengan surat Keputusan Rektor ITB No.861/Rek/ITB/66 tertanggal 21 April 1966. Sedangkan Haryanto mendapat tugas membentuk Staf Komando Resimen Mahawarman di Jalan Surapati (gedung milik Universitas Rakyat PKI). Haryanto diangkat menjadi Kasmen dibantu oleh anggota Batalyon I Mahwarman, yaitu Bambang Warsito (Asop Kaskomen), Djoni Saleh (Aster Kaskomen), serta Hardi Susilo (Dandenma).

Setelah saya diangkat menjadi Komandan Batalyon I, maka Prijono diangkat menjadi Wakil Batalyon, dengan para komandan kompi yang andal, yaitu Budiono, Gunardi S F, Yuhana Hidayat, Bambang Prawoto, Sudarsono, Tjarda serta So Liong Swa sebagai Danki putri.

Julius Usman gugur

Peristiwa 19 Agustus 1966 merupakan puncak pergerakan mahasiswa yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Di Bandung hampir setiap hari terjadi demonstrasi di markas KAMI di Jalan Lembong sewaktu ada apel mahasiswa.

Salah seorang pimpinan KAMI yaitu Sugeng Surjadi dari Unpad merobek-robek gambar Presiden Soekarno. Tindakan ini tidak dapat diterima oleh masyarakat (pada saat itu pengaruh Bung Karno masih kuat sekali), maka terjadilah demonstrasi tandingan oleh massa rakyat, yang kemudian di tunggangi oleh massa PKI. Pimpinan demonstran di ambil alih oleh PKI, dimana massanya datang dari daerah Bandung Selatan (Buah Batu).

Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1966 massa demonstran PKI sekitar 6.000 orang sudah mulai bergerak menuju Kampus ITB, namun diadang oleh pasukan Kujang Siliwangi di depan markas Brimob Jalan Juanda, tepat pada pukul 11.00 WIB.

Karena teralang oleh pasukan Siliwangi, massa demonstran beralih ke Jalan Merdeka. Di depan Kampus Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) beberapa demonstran melakukan tembakan-tembakan ke Gedung Unpar, seorang mahasiswa bernama Julius Usman gugur tertembak. Kondisi demonstran saat itu sempat kacau setelah mendapat tembakan balasan dari anggota Batalyon III Resimen .

Demonstrasi terus berlanjut, sore hari sekitar pukul 16.30, massa PKI dengan kekuatan yang sama sudah berada di Jalan Tamansari. Pada pukul 17.00 mereka sudah berada di sekitar pasar Balubur dekat Rumah Merah (asrama Mahasiswa ITB).

Pergerakan demonstran terus diikuti anggota Seksi I Batalyon I/ITB, yaitu Syafril dan Sutedjo yang menyamar sebagai penarik becak, dan dipimpin Kasi I, Parulian Sidabutar.

Pukul 18.00 tepat demonstran sudah sampai di depan pintu gerbang Kampus ITB di Jalan Ganesha sambil membawa potret Soekarno. Situasi kampus pada saat itu dalam keadaan kosong, hanya ada dua kompi pasukan Batalyon I/ITB yang akan melakukan serahterima tugas.

Melihat begitu banyaknya massa demonstran, dan ada beberapa yang bersenjata api (AK-Chung), maka saya memerintahkan Gatot Purbojo dari Seksi I untuk meminta bantuan dari Danyon II Nugraha Besus di Kampus Unpad (sesuai kesepakatan antara Yon I dan Yon II untuk saling membantu bila diperlukan).

Ternyata yang datang memberi bantuan justru bukan Batalyon II, tetapi pasukan Kujang Siliwangi yang didatangkan dari sekitar kampus Unpad, karena pasukan Batalyon II sendiri sedang menghadapi demonstran PKI yang datang dari daerah Sekeloa.

Pasukan Siliwangi yang baru datang tersebut langsung mengambil posisi antara massa demonstran dan anggota Batalyon I yang sedang stelling di belakang dinding-dinding kampus.
Komandan Pasukan Siliwangi berpesan kepada saya, bahwa kalau massa demonstran mulai masuk kampus, langsung tembak saja, dengan catatan jangan sampai mengenai prajurit Siliwangi.

Saya sempat bingung mendapat pesan tersebut, karena situasinya amat sulit, sebab pasukan Siliwangi itu berpagar betis berpegangan tangan menahan massa demonstran yang memaksa akan masuk kampus.

Setelah saya telpon untunglah Rektor ITB, Kuntoaji segera datang, setelah berdoa sejenak, Rektor ITB di damping Danyon I menemui pimpinan demonstran yang menuntut agar potret Presiden Soekarno yang mereka bawa di pasang secara terhormat di kampus, serta siaran Radio Ampera yang berada di kampus di hentikan.

Akhirnya Rektor ITB menyanggupi bahwa potret Presiden Soekarno tersebut akan dipasang besok pagi di kantornya, (waktu itu Bung Karno masih Presiden RI), dan mengatakan bahwa di Kampus ITB tidak ada yang namanya Radio Ampera.

Setelah mendapat jawaban Rektor ITB, serta tekanan pasukan Siliwangi, demonstran tersebut dapat dibubarkan. Sebagai cacatan perlu diketahui bahwa di Kampus ITB memang ada siaran Radio Ampera, yang studionya terletak tersembunyi rahasia, sekarang Aula Timur, dikelola Ajar Irawan mahasiswa Fisika ITB.

Keesokan harinya Pangdam Siliwangi, Mayjen H.R Dharsono didamping Komandan Brigade Lintas Udara Kujang Siliwangi, Kol Himawan Sutanto datang ke Kampus ITB, dan bertanya kepada Danyon I “Bagaimana keadaannya Tjip?”
Saya jawab “Telah diatasi Pak “.

Saat itulah saya pertama kali berkenalan dengan Pak Himawan Sutanto, yang kemudian hari menjabat sebagai Panglima Siliwangi, yang pada tahun 1978 menghadapi Batalyon I dan Mahasiswa ITB (peristiwa tahun 1978, halaman ,oleh Ir. Priyo Pribadi-(Danyon I ITB ke-8)).

Jendral TNI A.H. Nasution bersalaman dengan Komandan Resimen mahasiswa ITB ke 2, Tjipto Sukhardono, dalam acara stadium general menyambut HUT Menwa ITB di Aula Barat ITB tahun 1965. Jendral TNI A.H. Nasution adalah pendiri resimen mahasiswa.

Kebanggaan korps

Pada HUT Yon I tanggal 20 Maret 1968, di lapangan sepak bola Kampus ITB dilakukan upacara Parade Kebesaran dengan Inspektur Upacara Pangdam VI/Siliwangi Mayjen H.R. Dharsono, sedangkan sebagai Komandan Upacara ditunjuk KPH Probokusumo.

Puncak acara ditandai dengan penyematan “Cincin Peristiwa 19 Agustus 1966” pada Tunggul Batalyon I. Ada dua “Cincin Peristiwa” yang disematkan pada tunggul Batalyon I, yaitu satu cincin sebagai penghargaan Kodam VI/Siliwangi, dan satu cincin sebagai penghargaan Gubernur Jawa Barat atas jasa-jasa Batalyon I dalam pengabdiannya selama ini. Pada kesempatan itu Rektor turut menyematkan “Rumbai” berwarna merah anggur sebagai tanda terima kasih Alma Mater.

Dalam rangka melestarikan tradisi kepejuangan dan jiwa kejuangan Gubernur Jawa Barat, Mashudi dengan surat keputusannya memutuskan menyematkan “Rumbai Kejuangan” berwarna hijau muda yang berisi nama-nama mahasiswa STT dari Kampus Ganesha yang gugur dalam perang kemerdekaan 1945.

Sulit dibayangkan pada saat ini apakah peristiwa semacam ini akan berulang dalam satu upacara begitu ‘banyak” disematkan tanda kehormatan. Menurut saya hal ini masih dimungkinkan, berpulang kepada semangat dan motivasi kejuangan para anggota Batalyon I sekarang dan masa mendatang.

Para anggota Batalyon I harus tetap memiliki kesadaran yang tinggi, serta tetap berjalan di atas rel kebenaran, yaitu berjuang demi Sang Merah-Putih, dan Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.**

Bagikan melalui
Berita Lainnya
Lansia
Politikus itu Air Raksa
Kasus PIK2. Uji Integritas dan Komitmen Kebangsaan Presiden Prabowo
Jokowi Ditendang Hasto Digelandang
Hari Dharma Samudera Mewariskan Heroisme Jalesveva Jayamahe