46,2% Irigasi Rusak Ancam Progam Ketahanan dan Swasembada Pangan
OLeh DEDI ASIKIN
(Wartawan Senior)
KATANYA irigasi itu denyut nadi petani.
Katanya pula bandung air itu komponen utama negara agro maritim.
Pendukung upaya membangun ketahanan pangan. Paling tidak menikmati kembali kenyamanan swasembada beras seperti tahun 1980.
Tak ada resisten tentang itu. Apalagi pemerintah Prabowo Gibran ingin swasembada pangan dipercepat, dari 2028 menjadi 2027.
Maka tak bisa tidak itu irigasi yang rusak harus segera diperbaiki. Kalau perlu dimasukan kategori Proyek Strategis Nasional.
Tanggung jawab siapa itu?
Menurut Wakil Menteri Dalam Negeri (waktu itu) John Wempi Satipo, untuk kerusakan pada jaringan (primer, sekunder dan tersier) tanggung jawab pemerintah daerah. Pemerintah pusat bertanggung jawab untuk kerusakan pada bendung utama.
Kementerian PU sudah meminta tambahan anggaran untuk 2025 sebesar Rp60,6 triliun. Kata Menpu Dody Hanggodo, Rp16,2 triliun untuk menyelesaikan infrastruktur di IKN dan sisanya antara lain termasuk untuk memperbaiki irigasi itu.
Kementan juga meminta tambahan anggaran Rp26,5 triliun. Tak lain untuk program ketahanan dan swasembada pangan.
Tahun 2023 kata Wamendagri, dari luas bentang atas irigasi seluruh Indonesia 7.145 hektare, 46,6 % dalam keadaan rusak. Maka tidak ada cara agar program ketahanan dan swasembada pangan (2027) tercapai, rehab irigasi itu harus segera dilaksanakan.
Masih kata John Wempi Satipo, Menteri Dalam Negeri ditugaskan sebagai kordinator rehabilitasi irigasi itu dan harus melakukan konsultasi dengan kementerian terkait serta pemerintah daerah.
John juga menyebut peran Kelembagaan Pengelola Irigasi (KPI) serta Kelompok Petani Pemakai Air ( irigasi) masih belum optimal dan harus mendapat perhatian mendagri selaku kordinator.
Kita telah terlalu jauh melenceng dari jati diri negeri ini, agro maritim. Terlalu cepat merambah sektor industri yang tidak berbasis agro maritim. Kita malah membangun industri pesawat terbang, yang tidak ada kaitan.
Belanda lebih jeli terhadap jati diri negeri jajahannya ini. Mereka, bertahan 350 tahun, hanya mengambil rempah rempah dari Maluku dan hasil perkebunan yang mereka tanam di berbagai tempat . Dari hasil itu mereka membangun negara kincir angin.
Belanda perlu banyak uang selain untuk membangun negeri yang barada di bawah permukaan laut, juga untuk biaya perang. Perang Diponegoro 1825-1830 menghabiskan 20 juta gulden. Perang Aceh 1873-1904 menjebol dana 600 juta gulden. Juga perang dengan Belgia di Eropah.**