Perkosaan Massal, Impunitas Sejarah Reformasi

Ilustrasi
Ilsutrasi perkosaan
Catatan RIDHAZIA
(Wartawan Senior)
KOALISI masyarakat sipil marah berat. Bahkan akan melawan selepas menginterupsi rapat kerja antara Menteri Kebudayaan Fadli Zon dengan Komisi X DPR di kompleks parlemen, Rabu (2/6).
Sejumlah anggota koalisi itu membentangkan spanduk menolak penulisan ulang sejarah RI oleh Menteri Kebudayaan yang dianggap sebagai impunitas sejarah era reformasi.
Perkosaan Massal
Dalam hal ini impunitas sejarah tragedi perkosaan massal pada Mei 1998 menjelang peralihan kekuasaan Orde Baru.
Presiden B.J. Habibie sempat membacakan permintaan maaf di depan wartawan Istana atas peristiwa itu.
Selain memerintahkan untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
sekaligus memenuhi permintaan para aktivis untuk mendirikan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Hasil TGPF
Hasil investigasi TGPF juga menemukan bahwa perkosaan yang telah terjadi pada Mei 1998 sebagai bentuk teror yang dilakukan secara luas, masif, dan sistematis.
Bahkan TGPF menemukan bahwa korban perkosaan massal sebanyak 52 kasus (Tim Relawan untuk Kemanusiaan, 1998).
Laporan hasil investigasi TGPF ini kemudian diserahkan ke Jaksa Agung oleh Komnas HAM untuk kemudian dilakukan penyidikan.
Namun, sampai puluhan tahun berselang, kasus perkosaan massal ini tidak juga dituntaskan karena berkasnya dinilai tidak lengkap (Tempo, 2018).
Artinya kasus ini bukan rumor. Tapi senyatanya terjadi dalam episode sejarah Indonesia.
Apa Impunitas Sejarah?
Impunitas itu pelanggaran sejarah akibat pemihakan dan intervensi yang dominan oleh suatu kekuasaan.
Secara sistematis impunitas dianggap melanggar hak asasi manusia, bahkan kejahatan yang disengaja oleh otoritas kekuasaan.
Dalam sejarah, impunitas lazim terjadi atasnama kedok rasisme, ketidaksetaraan gender, bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.
Bahkan sebagai praktik-praktik kejam terutama dalam kasus 'maskulinitas militer' yang mengandalkan penggunaan kekerasan dan penindasan untuk menyelesaikan konflik dengan pihak sipil.**