Ketidakadilan Berpoligami di Kalangan PNS Laki-Laki dan Kaum Perempuan

  • Minggu, 23 Juli 2023 | 16:34 WIB
foto

Foto : dok. pribadi

Silvia Tan

Oleh SILVIA TAN
(Aktivis Perempuan/Jurnalis/ Wakil Ketua Umum Persaudaraan Wanita Tionghoa Indonesia - Perwanti),

JAKARTA, KejakimpolNews.com - Belum lama ini aturan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) terkait pernikahan dan perceraian pegawai negeri sipil (PNS) hangat dibicarakan.

Publik menyoroti adanya ketidakadilan dalam aturan yang dibuat. Pasalnya, dalam aturan tersebut PNS pria diperbolehkan poligami, sedangkan PNS perempuan tak boleh jadi istri kedua, ketiga, dan seterusnya.

Entah apa yang ada di benak para pemangku jabatan di saat menyusun aturan kontroversial tersebut.

Di zaman sekarang ini, regulasi yang konon sudah diterbitkan sejak 40 tahun lalu tersebut pun dinilai “merusak” emansipasi wanita dan paham kesetaraan gender.

Lantas, bagaimana awal dari terbitnya aturan tersebut?

Kepala Pusat Media, dan Kebudayaan Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menyebut peraturan tersebut diumumkan pada masa Orde Baru dengan kondisi politik yang berbeda.

Saat itu, istri presiden kedua Indonesia, Siti Hartinah atau akrab dipanggil Bu Tin, menentang keras poligami sehingga dibuatlah peraturan agar PNS laki-laki tidak mudah berpoligami.

Regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983 yang telah direvisi menjadi PP No. 45 Tahun 1990.

Peraturan ini menjadi acuan bagi pejabat yang melakukan poligami. PP No. 10 Tahun 1983 antara lain mengatur syarat penggantian dan kumulatif bagi PNS laki-laki yang berpoligami.

Selain itu, diatur pula pejabat yang memiliki kewenangan perizinan, yakni yang bertanggung jawab untuk mengawasi personel di masing-masing instansi.

Sesuai dengan Pasal 2(1) Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Cerai Bagi Pejabat Negara.

Pakar hukum Yuyud Yuchi Susanta menjelaskan PNS perempuan tidak diperbolehkan menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat.

“Syaratnya, khususnya adanya persetujuan tertulis dari istri yang sah dari pejabat publik yang bersangkutan yang dibuktikan dengan surat keterangan bermaterai, bahwa pegawai negeri laki-laki yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup dan secara tertulis jaminan dari pegawai negeri laki-laki yang bersangkutan bahwa ia memperlakukan istri dan anak-anaknya, anaknya dengan adil,” jelasnya.

Sedangkan pejabat laki-laki yang ingin beristri lebih dari satu harus mendapat izin dari pejabat dengan memenuhi syarat-syarat tertentu.

Pertama, kondisi surrogacy, antara lain istri tidak mampu menjalankan kewajibannya, istri cacat sik atau penyakit terminal lainnya yang dibuktikan dengan rekam medis, dan/atau ketidakmampuan melahirkan anak setelah menikah selama setidaknya sepuluh tahun sebagaimana disertikasi oleh sertikat medis.

Singkatnya, pejabat yang ingin melanjutkan cerai harus mendapat izin atau surat keterangan dari pejabat terlebih dahulu. Hal ini berlaku bagi mereka yang berstatus penggugat maupun tergugat.

Lalu, entah mengapa tiba-tiba BKN menyosialisasikan kembali aturan tentang izin nikah dan cerai PNS yang disahkan pada 1983. PNS pria bisa berpoligami dengan syarat tertentu, sementara PNS wanita dilarang jadi istri kedua, ketiga atau keempat. PNS wanita yang kedapatan melanggar terancam sanksi pemutusan kerja.

Surat nikah dan cerai bagi pegawai negeri diatur, dengan tujuan utama agar setiap pejabat pemerintah dapat memenuhi tanggung jawabnya sebagai pegawai negeri. Mereka juga tidak mempermasalahkan masalah keluarga.

Meski awalnya dibuat untuk menjaga efisiensi kerja PNS, namun akhirnya negara justru mengintervensi kehidupan pribadi pekerjanya. Bahkan menurut pakar kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, Mudiyati Rahmatunnisa, kini aturan tersebut mulai menyusup ke sektor swasta.

Jika dilihat dari kacamata kesetaraan gender, aturan pemerintah nomor 45 tahun 1990 menjadi polemik tersendiri. Publik pun mempertanyakan komitmen pemerintah untuk memperbaiki ataupun meningkatkan hak-hak perempuan.

Perlu diakui, pada praktiknya bahwa perbedaan gender ini banyak digunakan sebagai dalih untuk menegakkan hegemoni terstruktur atas perempuan, yang berdampak pada sejumlah isu yang lagi-lagi merugikan kaum wanita.

Pasal 45 Tahun 1990 tentang Surat Nikah dan Cerai bagi Pegawai Negeri Sipil, khususnya Pasal 4(2) sangat mencerminkan keberpihakan pemerintah terhadap kaum pria.

Sangat disayangkan mengingat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 i menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak bebas dari perilaku diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

Dengan tulisan ini, diharapkan makin banyak wanita Indonesia yang aktif menyuarakan hak kesetaraan wanita di mata hukum, yang akan mendorong pemerintah mempertegas kebijakan poligami akan diperketat atau tak dibolehkan sama sekali.**

Bagikan melalui
Berita Lainnya
Jasad Akbar Dicari Sampai Bendungan Cirebon Ditemukan di Desa Sangkanurip
Tiga Kendaraan Tabrakan Beruntun di Tol Cipularang, Kasur yang Tumpah dari Truk Dijarah Warga
Deniez Korban Hanyut di Sungai Cisanggarung Ditemukan 8 Km Jaraknya dari Lokasi Kejadian
TPAS Sarimukti Longsor di Zona 3, Tumpukan Sampah Nyaris Menimbun Alat Berat
Soal Ziarah ke Makam, Ini Kata Kakanwil Kemenag Jabar, H. Ajam Mustajam