Kapitalisasi Media Sosial dan Pengaruhnya pada Pilkada 2024
KUNINGAN, KejakimpolNews.com - Pilkada serentak 2024 menjadi ajang yang tidak hanya mempertarungkan kandidat di lapangan, tetapi juga di ranah digital.
Media sosial, dengan penetrasi yang semakin tinggi di kalangan masyarakat Indonesia, kini menjadi salah satu instrumen utama dalam kampanye politik.
Namun, di balik gegap gempita ini, kapitalisasi media sosial menghadirkan tantangan sekaligus peluang dalam proses demokrasi.
Demikian Bayu Fajriyaturrohman Ketua dan Aktivis Ikatan Pemuda Pemudi Mahasiswa Kuningan (IPPMK) di Jakarta, Sabtu 23 November 2024.
Dominasi Media Sosial
Dalam satu dekade terakhir, media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan X (dahulu Twitter) telah menjadi platform utama bagi kandidat untuk menjangkau pemilih.
Berbeda dengan media tradisional, media sosial memungkinkan kandidat berinteraksi langsung dengan masyarakat tanpa perantara, menciptakan narasi personal yang terasa lebih dekat.
Namun, keunggulan ini juga menuntut investasi besar. Kandidat yang memiliki akses ke sumber daya ekonomi lebih besar cenderung mendominasi ruang digital melalui iklan berbayar, kampanye terarah berbasis algoritma, hingga penggunaan influencer politik.
Data menunjukkan bahwa belanja iklan politik di media sosial pada 2024 meningkat hingga 60% dibandingkan Pilkada 2020, menandakan kapitalisasi yang semakin intens.
Pengaruh Kapitalisasi pada Demokrasi
Kapitalisasi media sosial menghadirkan tantangan terhadap prinsip keadilan dalam demokrasi. Kandidat dengan dana terbatas sering kali kesulitan bersaing di platform digital yang kini dipenuhi konten berbayar. Selain itu, algoritma media sosial cenderung memperkuat polarisasi, menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna dan mengurung mereka dalam "filter bubble."
Selain itu, penggunaan big data untuk kampanye terarah juga menimbulkan kekhawatiran. Pemanfaatan data pribadi pemilih untuk menyusun pesan kampanye yang spesifik telah menuai kritik terkait privasi dan etika. Di sisi lain, kampanye hitam dan penyebaran berita palsu (hoaks) menjadi lebih sulit dikendalikan, memperkeruh atmosfer politik di tengah masyarakat.
Upaya Mengatasi Kapitalisasi Berlebihan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah mengeluarkan regulasi terkait penggunaan media sosial dalam kampanye. Regulasi ini meliputi transparansi pendanaan iklan politik digital, pengawasan konten kampanye, serta upaya melibatkan platform digital untuk menekan penyebaran informasi palsu.
Meski aturan tersebut telah diterapkan, pelaksanaannya masih menemui berbagai kendala. Regulasi dianggap belum cukup efektif dalam menghadapi masalah yang ada. Diperlukan peningkatan literasi digital secara luas di masyarakat, sehingga pemilih memiliki kemampuan untuk memilah informasi dan mengidentifikasi strategi komunikasi yang bersifat manipulatif.
Ini sejalan dengan kritik teori ekonomi politik komunikasi terhadap dominasi struktur kekuasaan: masyarakat perlu diberi alat untuk melawan ketimpangan tersebut, bukan hanya melalui regulasi tetapi juga melalui penguatan kemampuan individu. Tanpa literasi digital, pemilih rentan terjebak dalam "filter bubble" atau narasi yang didominasi oleh kekuatan kapital, yang pada akhirnya merugikan proses demokrasi.
Harapan Baru dalam Demokrasi Digital
Di tengah tantangan ini, media sosial tetap memiliki potensi besar untuk memperkuat demokrasi. Kandidat independen atau yang berasal dari kalangan non-elit politik, misalnya, dapat menggunakan media sosial sebagai alat untuk membangun dukungan tanpa harus bergantung pada jaringan kekuasaan atau modal besar.
Ke depan, media sosial diharapkan tidak hanya menjadi alat kampanye, tetapi juga ruang dialog yang sehat antara kandidat dan masyarakat. Hal ini hanya dapat terwujud jika semua pihak, dari pemerintah, platform digital, hingga masyarakat, berkomitmen untuk menjaga integritas ruang digital.
Pilkada 2024 bukan hanya pertarungan di kotak suara, tetapi juga ujian bagi Indonesia dalam memanfaatkan media sosial untuk mendukung demokrasi yang inklusif dan berkeadilan. Bagaimana hasilnya, hanya waktu yang akan menjawab.**
Author: Whyr
Editpr: Maman Suparman