50 Tahun PDI (Perjuangan) Dalam Bayang-Bayang Soekarno

foto

Foto; kolase/ist.

Logo PNI Front Marhaenisme (Bung Karno) dan PDI Perjuangan (Megawati Soekarnoputri).

Oleh DEDI ASIKIN

(Wartawan Senior)

RASANYA susah melepas image bahwa Partai Demokrasi Indonesia (Perjuangan) dari bayang bayang Bung Karno alias Soekarno. Juga stigma sebagai "partai trah" atau "partai keluarga". Meski mereka mengaku sebagai partai modern dan terbuka.

Salah satu petunjuk bahwa PDI P tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang embah Karno adalah ucapan Sekjen Hasto Kristianto. Kata tangan kanan Bu Mega itu, salah satu kreteria capres PDIP pada pilpres 2024 adalah, memiliki napas kepemimpinan Bung Karno. Tentu saja harus paham Trisakti, Berdikari dan Marhaenisme yang diimplementasikan dalam slogan "wong cilik".

Tanggal 10 Januari 1973 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dideklarasikan. Partai itu merupakan jelmaan dari partai partai berbasis nasional (PNI, Murba, Parkindo, IPKI, dan Partai Katholik). Fusi atau penggabungan itupun terpaksa dilakukan mengikuti kebijakan politik Orde Baru yang memeras parpol dari 10 menjadi hanya 3 saja (PDI, PPP dan Sekber Golkar).

Setelan itu terjadilah konflik internal dalam tubuh PDI. Utamanya karena ada intervensi penguasa. Soeharto tidak suka kehadiran Megawati yang didukung internal partai. Soeharto lebih mendukung Suryadi sehingga terjadi peristiwa tanggal 27 Juli 1996 yaitu bentrok antara pendukung Megawati dengan pendukung Suryadi. Peristiwa itu terkenal dengan julukan "Kudatuli" akronim dari "Kerusuhan Duapuluh Tujuh Juli".

Megawati sendiri baru terbebas dari intervensi pemerintah setelah Soeharto lengser Mei 1998. Tahun 1998 dalam Konggres di Bali Mega terpilih menjadi ketua umum ( 1998-2003). Tanggal 14 Februari 1999 Megawati mendeklarasikan nama partai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dengan lambang kepala banteng moncong putih.

Diurut dari hulunya, awalnya adalah sebuah partai bernama Perserikatan Nasional Indonesia yang didirikan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Mr. Sartono, Iskak Tjokroaminoto dan Mr. Soenarjo tanggal 4 Juli 1927.

Bung Karno sendiri baru bergabung tahun 1928 bersama kelompok pemuda yang tergabung dalam Algemeene Studie Club (termasuk Bung Hatta) yang diketuai Ir. Soekarno.

Tahun 1929 partai tertua itu berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) Tahun 1930 beberapa tokoh PNI ternasuk Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap pemerintah kolonial Belanda.

Selanjutnya diadili di pengadilan di Bandung. Di hadapan majelis hakim di pengadilan itu Bung Karno (BK) menyampaikan pidato pembelaan atau pleidoi dengan judul "Indonesia Menggugat", namun majelis hakim tak menerimanya, Bung Karno tetap divonsi penjara.

Sebagai terpidana, tahun 1933 BK dibuang ke Ende sementara Bung Hatta dan Sjahrir dibuang ke Bandanaire. Pascakemerdekaan kedua tokoh perjuangan itu terikat dalam kebersamaan yang berjuluk "dwitungal Soekarno-Hatta".

Sampai disini maaf-maaf kata saya ingin menyampaikan sebuah temuan saya terkait "dwitunggal" itu. Ada sebuah tulisan H. Rosihan Anwar di harian Kompas 15 Desember 1980 berjudul Perbedaan Analisa Politik antara Soekarno dan Hatta.

Pak ustadz demikian beliau biasa juga dipanggil, adalah guru dan suhu jurnalistik. Tahun 1976 saya pernah mengikuti Karya Latihan Wartawan (KLW) yang diselenggarakan PWI Pusat dan Departemen Penerangan di Hotel Dirganiaga Cibulan Bogor. Pak Ros itu menjabat sebagai Direktur Program.

Dalam tulisannya, Pak Ros menggambarkan perbedaan sikap politik keduanya terhadap pemerintah kolonial. Hatta disebut lebih teguh dan konsekwen atas sikapnya. Sebaliknya BK yang orator itu ternyata lembek dan cepat bertekuk lutut. Jika bermisal-misal tulis Rosihan, Hatta itu ibarat kristal sedang Soekarno "peuyeum Bandung". Yang satu kukuh dan tegak yang satu meleleh dan loyo. Hatta itu banteng, Soekarno kambing Tegal. Hatta itu built-up, Soekarno Asembling Klender.

Selanjutnya masih dalam tulisan itu Pak Ros mengungkap rahasia Bung Karno. Katanya ketika berada dalam penjara Sukamiskin, Bandung, Bung Karno pernah mengirim surat minta pengampunan kepada Jaksa Agung Hindia Belanda. Ia minta dibebaskan dari penjara seraya berjanji akan menghentikan kegiatan poltik menentang pemerintah. Disebut dia juga melampirkan surat pengunduran diri dari partai.

Arsip surat itu tulis Rosihan terdaftar dalam laporan Pos rahasia 1933/1276 dan tersimpan di arsip nasional kerajaan Belanda. Jujur setelah membaca tulisan itu mata saya terbelalak. Melongo terbengong-bengong. Saking molohoknya, kalau saja waktu itu ada pencuri masuk rumah saya pasti saya biarkan kerena menyangka hanya seekor kucing belaka.

Benarkah apa yang ditulis pak ustadz Rosihan ini? Kemana saya harus konfirmasi. Piraku kudu indit ka Walanda mah. Tapi belakangan saya membaca tulisan senior dan juga guru jurnalistik saya H.Mahbub Djunaidi.

Katanya saking penasaran wartawan yang sering dijuluki "si burung pipit di kandang macan" itu sempat menemui ibu Inggit Garnasih di Jalan Ciateul Bandung. Ibu inggit membantah keras tulisan pak Ros yang sengaja diperlihatkan bang Mahbub.

"Tidak benar itu. Tak mungkin si Kus (ibu Inggit selalu memanggil Kusno kepada Bung Karno) berbuat itu. Pamali itu mah. Ibu ini bukan sekadar garwa (istri) tapi teman seperjuangan yang ikut ke dibuang kemanapun. Tak pernah mendengar si Kus mengeluh. Dia tegar dan selalu membesarkan hati keluarga.

Tulisan bang Mahbub sedikit mengendorkan urat didahi saja. Bisi kepanjangan durasi saya akhir sampai sini aja. Mung sakitu nu kasanggakeun. Selamat setengah abad PDI " (Perjuangan). Jangan lupa wong cilik, jelmaan dari "marhaenisme" Bung Karno. Bravo.**

Bagikan melalui
Berita Lainnya
Jet Pribadi
Yahudi, Israil Sing Senes
Kotak Kosong Anomali Politik
Waham Megalomania
Pilkada Beda-Beda Kayak Embe dan Kuda