Efek Domino Tani Mukti Teori Ekonomi Warisan Almarhum Faisal Basri

foto

Dedi Asikin

Dedi Asikin

Oleh DEDI ASIKIN
(Wartawan Senior)

DALAM buku saya Bingkai-Bingkai ASN (2015) saya mengunggah pola fikir Profesor. Faizal Basri (alm)ekonom kawakan yang mengupas tentang kesalahan pembangunan ekonomi Indonesia.

Pendapat guru besar (ekonomi) UI itu saya tulis sebagai sub judul dari bab Sejarah Panjang Pembangunan Ekonomi Indonesia.

Menurut almarhum yang wafat seminggu lalu, pembangunan ekonomi Indonesia telah melenceng dari jati diri negeri. Semua orang tahu bahwa jati diri negeri kita adalah agro maritim.

Lautan kita terbentang luas di lebih dari 17 ribu pulau dengan luas daratan 1.919.440 km
Luas laut kita sesuai hukum laut international atau United Nation Convention on the law of the Sea ( UNCLOS) adalah 3.273.819.

Nenek moyangku orang pelaut, gemar  mengarung luas samudera, menyeberang ombak tiada takut, diterjang badai sudah biasa. Itu sepenggal lagu bangsa pelaut lautan ibu Sud.

Yang dilakukan pemerintah (masa Orde Baru) membangun industri di perkotaan. Itu salah kata Prof Basri, meski dia  mengaku bahwa Presideh Soeharto terpaksa melakukan itu, kerena di desa belum ada infrastruktur (listrik dan jalan) industri.

Akibatnya terjadi gelombang urban penduduk dari desa ke kota. Terjadi perubahan struktur kependudukan.

Sekarang ini menurut data pada Bappenas/ BPN penduduk perkotaan 32%. Kalau dibiarkan maka pada tahun 2045 akan terjadi perubahan struktur kependudukan menjadi 63% di kota dan 37% di desa. Ini berbahaya kata Prof. Basri.

Yang terjadi perkotaan tidak mampu menampung beban pertambahan penduduk. Tahukah anda nilai BBM yang terbakar percuma ketika macet, di Bandung saja Rp4 miliar sehari. Belum di kota kota lain.

Ketika yang dibangun adalah industri, tekstil, otomotif, bahkan pesawat terbang, maka yang terjadi produksi pertanian merosot tajam. Akibatnya kita menjadi negara pengimpor pangan terbesar di Asia Tenggara.

Belanda ternyata, yang tahu jati diri negeri inlander ini. Mereka mencengkeram bumi Nusantara selama 350 tahun, yang diambil hanya rempah rempah dari Maluku. Lalu mereka mengembangkan berbagai komoditas perkebunan, teh, karet, kelapa, kina, kakao dll.

Jikapun mereka membangun jalan raya dan kereta api, semata mata untuk mengangkut produksi itu.

Tengok pula Arab Saudi. Mereka tahu jati diri negeri mereka minyak dan barang fosil lainnya. Dan itulah yang mereka plototin. Tak pernah mereka berfikir membangun industri otomotif, apalagi pesawat terbang. Walaupun duit mereka punya dan teknologi bisa diserap. Bisa tuturut munding.
Rasa rasanya profesor Faisal Basri benar adanya.

Sekarang ini, anak anak desa berlarian ke kota. Ada erosi cita-cita dan nilai budaya. Nyaris tidak
ada anak petani yang bercita-cita seperti ayahnya, nyoren bedog manggul pacul ke sawah. Kata mereka, jadi petani itu yang tinggal cuma daki. Pun begitu jadi nelayan. Yang ada,kata mereka, kulit makin kelam.

Herannya dana desa tidak berhasil mengembalikan bangsa ini menjadi kuat di daratan dan jaya di lautan. Jalesveva jayamahe.

Soalnya sumber daya petani dan nelayan kita sudah pergi meninggalkan desa. Yang ada di desa cuman aki aki dan nenek nenek yang napasnya sudah ngos-ngosan.

Impor panganpun makin membesar. Nyaris tak ada kebutuhan pangan yang tidak membeli dari pasar global. Sampai-sampai garam pun kita impor. Padahal kata menteri kelautan (waktu) Fadel Muhammad bikin garam itu cuma naroh air di baskom saja jadi tu barang. Sampe-sampe dia (Fadel) sempat berantem sama menteri perdagangan Marie Pangestu.

Kembali kepada konsep Prof Basri, yang harus dilakukan adalah  memuktikan (menyejahterakan) petani. Dengan penggunaan teknologi pertanian dan kelautan yang memadai relevan dengan meningkatkan sumber daya manusia (petani dan nelayan), akan terjadi domino efek.

Petani dan nelayan mukti, daya bayarnya meningkat, barang manufaktur (pabrik) terserap. Upah buruh naik, pajak masuk, APBN longgar, gaji ASN naik.

Ujung-ujungnya meyarakat Indonesia sejahtera. Itulah cita-cita yang dikemas dengan pemahaman bahwa jati diri kita ada di daratan (desa) dan di lautan (nelayan). Bukan di kota kota yang daya tampungnya sudah tidak muat

Selamat jalan Prof. Semoga mendapat tempat di janatullah, Surga yang sejuk yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Holidiina fihaa abadaa.**

Bagikan melalui
Berita Lainnya
Waham Megalomania
Anis, Pesona Suara Merdumu
Konflik Lestari Ojol Vs Opang
Bola Pingpong dan Telor Brebes
PDIP Kapok, Anies Harus Dibaiat