Negara Tekor

Ilustrasi
Ilustrasi utang negara.
Catatan RIDHAZIA
(Wartawan Senior)
TERNYATA, keuangan Indonesia sedang tekor. Hingga akhir Agustus 2025 sedikitnya minus Rp 321,6 triliun. Sedangkan pendapatan hanya Rp 1.638 triliun, alias turun 7,8% dari tahun lalu.
Angka defisit anggaran negara ini menunjukan fakta bahwa baru kali ini kalau negara kembali memasuki era darurat "besar pasak daripada tiang" yang bisa memaksa keadaan perekonomian bangkrut.
Pemantik
Sesumbar apapun Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang dilantik pada tanggal 8 September 2025 menggagas perekonomian nasional tidak akan serta merta mengubah nasib negeri ini, jika program prioritas Presiden Prabowo yakni MBG dan Danantara dievaluasi.
Sebab menurut lembaga riset dan publikasi ekonomi dan keuangan Nomura Asia Insights yang berpusat di Jepang ini menilai program prioritas "janji presiden" Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Danantara yang tidak lagi rasional.
Kedua program politik ini telah memicu terbatasnya peningkatan penerimaan negara dan membengkaknya kebutuhan belanja negara. Bayangkan saja, program MBG mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp100 triliun (0,4% dari PDB), dari alokasi saat ini sebesar Rp71 triliun (0,3% dari PDB).
Demikkan pula dengan Danantara, perusahaan induk investasi negara alih-alih menjadi mesin penambah dana APBN malah menambah persoalan keuangan semakin rumit.
Melanggar UU
Nomura Asia Insights juga menduga estimasi defisit 3,4% dari PDB ini berpotensi negatif. Dan, presiden bisa disangkakan melanggar batas defisit maksimal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu 3,0% dari PDB.
Pinjam Lagi
Konsekuensi defisit APBN yang artinya penerimaan negara tidak mencapai target akan memaksa menutup selisih dari kekurangan itu. Mau tidak mau pemerintah harus menambah pembiayaan utang.
Apalagi utang Indonesia secara umum masih dalam batas aman karena rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) masih di bawah batas maksimal 60% yang ditetapkan oleh undang-undang.
Juga utang negeri ini masih lebih rendah dibandingkan banyak negara lain, karena mayoritas utang pemerintah berasal dari instrumen Surat Berharga Negara (SBN).
Sisanya baru berasal dari pinjaman, baik pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri.**