Hasrat Membenci
Catatan RIDHAZIA
(Wartawan Senior)
NARASI kebencian di media sosial (Medsos) berwajah banyak. Bisa dimulai urusan ras, etnis, gender, usia, bahkan orientasi seksual. Juga yang tak kalah melimpah ihwal keyakinan dan agama.
Bahkan narasi kebencian juga kerap menyentuh urusan politik. Media sosial menjadi kanal penyebaran kebencian untuk menolak asal berbeda (the others).
Tentu saja menyerang lawan politik, orang-orang yang tidak berkepercayaan (non-believers), orang-orang yang berbeda pandangan (dissenters).
Alih-alih kritik baik. Justru merusak. Atasnama membela kebenaran dan menuntut perubahan, narasi kebencian kerap diunggah dalam bentuk provokasi, hasutan, olok-olok, atau hinaan dengan memperlakukan seseorang yang dibenci seperti musuh yang lebih rendah dan menjijikan.
Manusia Toxic
Manusia toxic adalah orang yang memiliki sifat beracun. Perilaku, pikiran dan perasaan tidak menyenangkan. Antara lain menyombongkan diri sekaligus merendahkan orang lain. Ia juga kerap mencari perhatian. Bahkan tidak suka disaingi
Manusia toxic ditandai sifat cemburu atas kesenangan orang lain. Juga tidak empati. Bahkan manipulatif dengan membesar-besarkan masalah hingga controller freaks.
Studi psikologi menunjukan fakta hasrat membenci berkorelasi dengan dendam, bahkan luka batin.
Hidup itu Korban
Bagi pembenci, hidup adalah sebuah drama. Dunia ini tidak menyenangkan dan ajang permusuhan. Cenderung ingin melebih-lebihkan situasi. Merasa menjadi korban dan yang paling menderita di dunia.
Studi itu pun mengidentifikasi kebencian dipicu oleh tingkat stres dan kecemasan yang tinggi. Juga merasa senang atau puas ketika orang yang dibenci mengalami kegagalan atau kesulitan.
Itu sebabnya para periset psikologi menemukan kebencian bermula dari anggapan, gambaran, dan keyakinan negatif tentang suatu kelompok tertentu.
Asumsi negatif ini disebut stereotip. Yakni sikap, pikiran dan perasaan berdasarkan prasangka yang tidak benar.**